K ejadian ini terjadi ketika aku sedang melaksanakan kegiatan ospek jurusan di kampusku
beberapa tahun yang lalu. Hai semuanya kenalin nama aku Arif, aku berkuliah di salah satu
perguruan tinggi di Kota Bandung. Sebuah perguruan tinggi swasta yang letaknya berada di
daerah Lengkong, pasti buat orang Bandung udah gak asing dengan kampus ini, dalam ospek
ini aku bertugas sebagai panitia, sehingga aku pun otomatis harus menghabiskan banyak
waktuku di kampus dimulai dari mengatur acara sampai mendekorasi ruangan-ruangan yang
akan dijadikan tempat berlangsungnya ospek ini.
Hari itu adalah satu hari sebelum acara ospek jurusan berlangsung, sehingga membuatku
cukup kerepotan karena harus sibuk kesana kemari dan karena malam harinya semua
panitia diwajiban menginap di kampus maka sore harinya pun aku memutuskan untuk
pulang ke kostan terlebih dahulu untuk menyiapkan peralatan untukku menginap di
kampus, sebagai informasi kostanku ini berada di daerah Naripan.
Singkat cerita aku pun tiba di kostanku menjelang waktu maghrib dan karena terlalu lelah
berkegiatan di kampus aku mencoba untuk beristirahat sejenak. “Hah lumayan ngantuk juga
nih” ujarku. Setelah itu aku memutuskan untuk makan dan mandi dan merebahkan diri
sejenak di kasur seraya menonton acara TV, tanpa aku sadari mataku pun perlahan
terpejam.
Saat sedang nyenyak-nyenyaknya aku tertidur, handphoneku pun berbunyi, saat aku
mengecek ternyata itu Acong salah satu panitia ospek ini. “Aduh mati gue udah jam berapa
ini? Udah jam 2, Astaga gue ketiduran, duhh telat lagi deh gue.” Kataku. Aku mengangkat
telfon dari temanku Acong, ia mulai berbicara dengan nada yang cukup marah, “Duhh pale
palee, dasar kepluk lu Rif. Liat nih anak-anak udah pada nungguin lu. Lu dimana sih? Lu
jangan-jangan di kostan ya? Buruan kesini rapatnya dah mau mulai nih!”
Aku panik dan segera memasukan pakaian dan alat mandiku ke dalam tas tanpa sempat
menjawab pertanyaan dari Acong, aku berniat besok pagi saja mandi di kampus, dan
langsung dengan segera mengunci pintu kostanku dan berlari sambil membenarkan ikatan
tali sepatuku. Sesampainya aku di ujung gang, aku pun celingak-celinguk menunggu
angkutan umum yang lewat. Karena meskipun kostanku bisa ditempuh dengan berjalan kaki
namun tetap saja tidak enak bagiku membuat teman-teman panitia yang lain menunggu.
“Mudah-mudahan saja masih ada angkot ke arah perempatan Cikawao” Ucapku.
Biasanya angkot-angkot di jam segini suka banget motong jalan jadi aku gak usah repotrepot naik turun kendaraan ke arah kampusku, dan tiba-tiba saja muncullah sebuah cahaya lampu yang cukup membuat mataku silau dari kejauhan jalan, dan ternyata itu merupakan
angkot yang sedari tadi aku tunggu-tunggu, tanpa pikir panjang aku pun langsung
mengacungkan telunjukku kea rah angkot itu dan angkot itu pun berhenti di hadapanku.
Dengan kondisi menggigil dikarenakan udara Bandung di pagi hari yang sangat dingin,
aku pun bertanya kepada bapak sopir yang mengenakan topi lusuh itu yang dimana saat aku
lihat wajahnya sudah nampak sangat kelelahan.
“Pak, mau ke arah kampus kan pak?” Tanyaku. Bapak Supir itu pun seraya menganggukan
kepalanya tanpa berucap satu kata pun. “Yasudahlah, yang penting aku harus buru-buru ke
kampus, karena disana teman-temanku sudah pada menunggu.” Pikirku.
Aku pun seraya masuk kedalam angkot yang berwarna biru tua itu. Aku mengambil posisi
tepat disebelah pintu keluar agar aku bisa sedikit merokok sambil menikmati perjalanan
yang dingin ini, tepat di depanku duduk seorang ibu yang memangku bayi yang sedang
disusuinya, ibu-ibu itu nampak sudah sangat tua, dengan kain selendang bercorak batik yang
ia gunakan dengan mengenakan baju terusan berwarna putih yang terlihat sudah kotor, dan
membuatku cukup iba kepadanya.
Adapun dua orang penumpang lainnya duduk berhadapan di dekat kaca bagian belakang
angkot, yang satu ialah perempuan dengan rambut panjang mengenakan cardigan merah,
sementara dihadapannya terdapat seorang pria dengan jaket jeans kucel dengan celana
pendek. Mereka berdua nampak asik membicarakan sesuatu, sesekali wanita yang
bercardigan merah itu memandangku sambil sedikit tertawa kecil seperti menyindir. Aku
tidak terlalu ambil pusing akan hal itu.
Sejenak kuperhatikan penumpang lainnya yang duduk di sebelah supir, namun
penumpang yang satu ini nampak tidak begitu jelas, karena duduknya membelakangiku dan
terhalang pintu angkot yang diatur melipat, sehingga jumlah orang di dalam angkot ini
sekitar 6 orang termasuk aku, cukup banyak untuk angkot yang masih beroprasi pada pukul
2 pagi. Aku cukup menikmati perjalanan pada pagi itu, namun sejujurnya merasa sedikit risih
terutama karena pasangan yang di belakang itu tertawa-tawa sambil melihat ke arahku.
Ketika aku melihat mereka, mereka sontak tertawa seolah-olah ada yang aneh pada diriku,
dan sayup-sayup aku mendengar pembicaraan mereka dan membuatku sontak kaget.
“Hah?! Apa?! Meninggal?! Hah?!?! Siapa yang bisa lihat siapa?!?!” Tanyaku dalam hati.
Aku semakin penasaran sehingga aku pun merapatkan diri ke dalam angkot dan
mendengarkan kembali pembicaraan mereka. Meraka berbicara seolah-seolah mereka ini
adalah orang yang baru saja meninggal dan pria itu bertanya pada wanita yang ada di
hadapannya, sebuah pertanyaan yang sangat jelas aku dengar hingga membuatku
merinding, terpaku, terdiam tak bisa bicara.
“Emang kamu matinya kenapa Neng?” Wanita itu pun menjawab “Kan kita semua mati di
angkot ini mas, masa mas lupa?” Astaga obrolan itu membuatku semakin ingin melihat ke arah mereka, ketika mataku mencoba melihat mereka “Astaga wanita itu tak memiliki
tangan, dan matanya pun perlahan-lahan mengeluarkan darah.” Aku kaget dan merasa
sangat ketakutan hingga aku mencoba mengalihkan pandanganku, dan saat pandanganku
teralih pada pria itu, pria itu hanya memiliki muka sebelah dan sebelah mukanya lagi hancur
tidak karuan, dengan darah yang mengucur dari wajahnya dengan spontan aku pun
berteriak seraya berkata kepada supir.
“Kiri…kiri…kiri...kirii” Tapi kenapa angkot ini terus saja melaju dan tanpa kusadari
sekarang ibu-ibu yang berada dihadapanku tadi tampak menjatuhkan sesuatu dari
wajahnya, ternyata itu adalah bola matanya. Ia sedang berusaha menempelkan matanya
yang jatuh dan bayi yang digendongnya pun terus menangis seperti menahan sakit, ternyata
perut bayi itu terbuka mengeluarkan darah dengan usus yang tercerai berai, sontak aku
langsung berdiri menepuk pundak pak sopir itu, tetapi saat aku menepuk pundaknya tiba-tiba saja kepala supir itu terlepas dan jatuh mengenai tanganku yang masih memegang
pundak supir itu dan aku berteriak sekencang-kencangnya sambil melompat keluar dari
angkot itu, setelah itu aku melihat angkot itu menghilang di kegelapan malam, dan setelah
itu pandanganku pun mulai gelap dan aku tidak ingat apa-apa setelahnya, entah berapa
lama berselang kudengar suara orang memanggil-manggil namaku.
“Rif…riff.. bangun Rif, Astagfirullah istigfar Rif” Mataku perlahan-lahan terbuka dalam keadaan masih menerawang dan masih
kebingungan, aku samar-samar bisa melihat Acong temanku dengan muka yang panik,
ditemani beberapa bapak-bapak yang aku kenal, ketika aku menanyakan apa yang terjadi
pada Acong. Acong bilang kalau tadi dia sengaja menjemputku karena lama sekali aku tidak
muncul di kampus dan saat sudah hamper tiba di dekat kostanku ternyata ia melihatku
tergeletak di pinggir jalan depan gang kostanku.
Aku pun sontak berpikir, jadi sedari tadi aku masih disini, aku merasa tidak percaya dan
menceritakan pengalaman yang aku rasakan dan aku ingat tentang pengalamanku dijemut
angkot yang penuh dengan penumpang yang sudah meninggal, setelah mendengarkan
ceritaku lantas seorang bapak menjelaskan bahwa memang dua hari yang lalu terjadi
sebuah kecelakaan angkot di jalan raya yang mengakibatkan tewasnya semua penumpang
dan supirnya, dan bisa saja angkot yang aku naiki tadi merupakan angkot berhantu yang
sudah mengalami kecelakaan itu.
- ARIF